- 20 Januari 2025
NAHDLIYIN.COM, Jakarta – Dua dekade telah berlalu sejak Riyanto, seorang anggota Banser Nahdlatul Ulama (NU), meninggalkan dunia dengan meninggalkan jejak abadi dalam sejarah toleransi dan kemanusiaan di Indonesia. Riyanto gugur pada malam Natal, saat menjalankan tugas menjaga keamanan kebaktian malam Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Kisah heroiknya tidak hanya menginspirasi umat beragama di Indonesia, tetapi juga menjadi simbol keberanian dan solidaritas lintas iman.
Malam itu, 24 Desember 2000, Riyanto bersama empat rekannya mendapat tugas menjaga Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Bukan polisi atau tentara, Riyanto adalah anggota Banser NU dari Satuan Koordinasi Cabang Mojokerto. Dalam semangat toleransi, Gerakan Pemuda Ansor memang menginstruksikan anggotanya untuk membantu mengamankan perayaan Natal umat Kristiani di tengah ancaman teror bom yang marak saat itu.
Sekitar pukul 20.30 WIB, ketika kebaktian malam Natal berlangsung, muncul laporan tentang sebuah bungkusan mencurigakan di depan pintu gereja. Dengan keberanian khas Banser, Riyanto segera memeriksa bungkusan tersebut. Di dalamnya terdapat kabel-kabel yang memercikkan api sebuah bom.
Riyanto mungkin sadar ancaman itu dapat mengancam nyawanya, dan ia memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri. Namun, ia memilih jalan pengorbanan. Sambil berteriak, "Tiarap!" ia berlari membawa bom menjauh dari gereja, demi melindungi ratusan jemaat yang sedang beribadah.
Tak lama kemudian, bom meledak di pelukan Riyanto. Ledakan itu menghancurkan tubuhnya, merobohkan pagar beton gereja, namun berhasil menyelamatkan nyawa banyak orang. Riyanto gugur sebagai pahlawan, meninggalkan teladan keberanian, toleransi, dan pengorbanan demi kemanusiaan.
Tindakan Riyanto mencerminkan semangat pengorbanan yang tinggi, tidak hanya sebagai anggota Banser, tetapi juga sebagai seorang manusia yang peduli terhadap keselamatan sesama, tanpa memandang perbedaan keyakinan. Keberanian Riyanto melampaui batasan egoisme, membuktikan bahwa nilai kemanusiaan dapat mengatasi segala bentuk sekat agama, suku, atau golongan.
Pengorbanannya memberikan pelajaran penting bagi bangsa Indonesia, persatuan dan solidaritas harus menjadi landasan dalam menghadapi tantangan keberagaman. Dalam konteks pluralisme, Riyanto menjadi contoh nyata bagaimana agama dapat menjadi pendorong untuk melindungi, bukan membatasi, harmoni sosial.
Merujuk pada unggahan NU Online, sepenggal kisah heroisme Riyanto pernah diceritakan oleh Wakil Sekretaris PCNU Jember, Moch Eksan saat menjadi pemateri dalam Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Gumukmas dan Puger di aula Pondok Pesantren Darul Muhibbin, Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur, Jum'at (27/4/2018) malam.
Menurutnya, Riyanto adalah sosok heroik yang berani mengambil resiko demi menyelamatkan nyawa orang lain yang notabene berbeda agama.
Eksan menambahkan, apa yang dilakukan Riyanto merupakan gambaran umum sikap Banser dalam menunaikan tugas-tugas kemanusiaan, berjuang menjalin kerukunan antar umat beragama, melindungi kelompok minoritas dan sebagainya.
Sungguh tugas yang sangat mulya. NU yang tak lain adalah induk organisasi Ansor (Banser) memang menjadi jangkar bagi ‘perahu’ Indonesia yang dihuni penumpang dari latar belakang agama, budaya dan suku yang berbeda.
“Apa yang dilakukan Banser dalam setiap natal itu merupakan terjemahan dari sikap NU yang moderat dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Saya kira semangat Riyanto perlu kita diteladani oleh Banser masa kini,” ungkapnya.
Warisan Riyanto untuk Toleransi dan Keberagaman
Hingga kini, nama Riyanto terus dikenang dalam berbagai peringatan lintas agama. Gereja Eben Haezer setiap tahun mengadakan momen khusus untuk mengenang jasanya. Tidak hanya umat Kristiani, komunitas Muslim dan masyarakat umum juga menjadikan kisah Riyanto sebagai inspirasi untuk terus memperjuangkan nilai-nilai perdamaian.
Keteladanan Riyanto semakin relevan di tengah tantangan zaman yang sering kali mengancam keharmonisan sosial. Ia mengingatkan kita semua bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman, dan bahwa keberanian untuk menjaga sesama adalah tugas setiap individu.
Riyanto telah pergi, tetapi pesan yang ia tinggalkan tetap hidup: kemanusiaan harus menjadi prioritas di atas segalanya. Sebagai seorang Muslim, ia menghidupkan ajaran Islam tentang kasih sayang dan melindungi sesama. Sebagai warga negara, ia menunjukkan pengabdian tanpa pamrih kepada bangsa dan negara.
Di hari-hari penuh refleksi seperti perayaan Natal atau momen-momen persatuan lainnya, Riyanto menjadi pengingat akan pentingnya keberanian untuk bersatu, melindungi, dan mencintai satu sama lain, sebagaimana ia telah melakukannya dengan nyawanya sendiri.
Mengenang Riyanto bukan sekadar mengenang seorang pahlawan, tetapi juga merefleksikan bagaimana kita, sebagai bangsa yang majemuk, dapat terus menjaga warisan toleransi dan pengorbanan yang ia tinggalkan.