Jum'at, 28 Maret 2025 22:57 WIB

Gus Baha Jelaskan Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Menentukan Awal Bulan Ramadhan


  • Selasa, 18 Februari 2025 13:31 WIB

NAHDLIYIN.COM, Jakarta – Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), menjelaskan titik perbedaan beberapa organisasi masyarakat dalam menentukan awal bulan Hijriah, termasuk Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Dalam kajiannya, Gus Baha mencontohkan perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terkait penentuan hilal. Perbedaan tersebut terletak pada batas minimal ketinggian hilal yang dianggap sah untuk pergantian bulan.

"Kalau menurut Muhammadiyah, jika hilal sudah melewati ufuk, maka sudah masuk tanggal 1. Setiap hilal melewati ufuk, meskipun hanya satu derajat, itu sudah cukup untuk menetapkan bulan baru. Hilal itu maknanya tanggal," ujar Gus Baha, dikutip dari YouTube Santri Gayeng, Selasa (18/2/2025).

Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan bahwa sikap Muhammadiyah mengikuti pendapat ahli falak yang menggunakan metode hisab wujudul hilal. Dalam metode ini, jika bulan sudah melewati ufuk, maka secara perhitungan sudah dianggap masuk bulan baru, tanpa mempersoalkan tinggi derajatnya.

Sebagai ilustrasi, Gus Baha memberikan analogi dengan pergantian abad. "Misalnya tahun 2001, apakah sudah bisa dikatakan abad ke-21? Secara hakikat memang sudah masuk abad baru, tetapi belum bisa disebut abad 21 secara sempurna," jelasnya.

Sementara itu, Nahdlatul Ulama memiliki pendekatan yang berbeda. Meskipun secara hisab hilal diketahui sudah melewati ufuk, NU tetap berpegang pada prinsip rukyatul hilal—yakni melihat hilal secara langsung sebelum menetapkan awal bulan.

"Dalam pandangan NU, hukum itu berkaitan dengan penglihatan. Jika hilal belum terlihat, maka belum bisa ditetapkan pergantian bulan," imbuhnya.

Gus Baha kemudian mengilustrasikan prinsip ini dengan contoh sederhana: "Misalkan seorang santri diminta menghormati tamu yang datang. Namun, tamu tersebut hanya berdiri di depan gerbang tanpa mengucapkan salam, sehingga santri tidak menyadari kehadirannya. Dalam hal ini, santri tersebut tidak bisa disalahkan karena ia belum benar-benar melihat tamu itu," terangnya.

Menurut Gus Baha, perbedaan metode penentuan hilal ini tidak perlu menjadi perdebatan yang memperuncing perbedaan antarumat Islam. Justru, hal ini menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam tetap berjalan dengan dinamis.

"Saya melihat perbedaan ini sebagai sesuatu yang wajar. Alhamdulillah, kita masih memiliki tradisi ilmu. Ulama sejak dulu terbiasa berbeda pendapat berdasarkan kajian masing-masing. Maka, jika ada perbedaan dalam menentukan hilal, biarkan saja berbeda," tutupnya.
 



ARTIKEL TERKAIT