- 17 Mei 2025
Oleh:Zaenuddin Endy, Wakil Sekretaris PW IKA PMII Sulawesi Selatan
NAHDLIYIN.COM, Makassar – Sekitar 35 tahun yang lalu, Gus Dur menyampaikan pesan penting kepada kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang kemudian ditulis dalam buku Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi oleh A. Effendi Choirie dan Choirul Anam. Dalam pesannya, Gus Dur menekankan perlunya NU dan organisasi afiliasinya, termasuk PMII, untuk mengarahkan langkah mereka pada transformasi sosial ekonomi, setelah sebelumnya berhasil mengokohkan dimensi politik dan mengembangkan aspek kultural. Pesan ini bukan sekadar strategi organisasi, melainkan merupakan visi besar tentang peran umat Islam dalam perubahan bangsa.
Gus Dur menyadari bahwa lebih dari 75 persen rakyat kecil di Indonesia adalah warga NU. Ketika peredaran ekonomi dikuasai oleh konglomerat, maka kaum kecil tetap tertindas. Oleh karena itu, NU harus mengambil peran aktif dalam memberdayakan ekonomi umat. Salah satu langkah strategis yang diusulkan Gus Dur adalah pendirian 2000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hingga tahun 2010. BPR ini bukan hanya alat keuangan, melainkan instrumen transformasi sosial ekonomi.
Transformasi sosial ekonomi yang dimaksud Gus Dur bukan semata-mata soal ekonomi, tetapi tentang perubahan struktur sosial masyarakat. BPR, dalam pandangannya, bukan hanya tempat meminjam uang, tetapi sarana memperkuat jaringan ekonomi umat, memperluas lapangan kerja, alih teknologi, serta membangun kemandirian ekonomi rakyat. Ini adalah langkah revolusioner dalam konteks pemberdayaan umat berbasis Islam.
Pesan ini menjadi sangat penting untuk direnungkan oleh kader PMII, terutama dalam situasi sosial ekonomi saat ini yang masih menyisakan ketimpangan dan ketidakadilan. Gus Dur mendorong PMII untuk menjadi mitra NU dalam proses besar ini, bukan hanya sebagai pengamat atau pengkritik sosial, tetapi sebagai pelaku aktif transformasi.
Sebagai organisasi mahasiswa, PMII tentu memiliki tanggung jawab intelektual. Namun Gus Dur menekankan bahwa tugas kader PMII bukan sekadar diskusi dan wacana, melainkan juga aksi nyata. Ia bahkan menyarankan agar PMII tidak terus berkutat pada hal-hal global dan politis, tetapi mulai bergerak ke hal-hal praktis seperti belajar teknologi dan manajemen.
Pesan Gus Dur agar PMII tidak takut menjadi “pengangguran intelektual” menyiratkan bahwa intelektualisme sejati bukanlah yang hanya berteori, tetapi yang mampu memberi solusi konkret bagi masyarakat. Dalam NU pasca-khittah 1926, peran kader tidak lagi diarahkan ke kursi parlemen, tetapi ke lapangan pengabdian masyarakat yang sangat luas.
Transformasi sosial budaya yang dilakukan NU sejak awal berdirinya telah membentuk kesadaran kebangsaan yang kuat. NU bukan hanya penjaga nilai-nilai Islam, tetapi juga penggerak integrasi nasional. Gus Dur menyadari bahwa peran ini harus diperluas ke bidang ekonomi dan teknologi agar bangsa ini dapat tumbuh secara berimbang.
PMII, sebagai anak ideologis NU, harus melanjutkan tradisi besar ini. Bukan hanya menjadi organisasi mahasiswa biasa, tetapi menjadi agen perubahan yang mampu menerjemahkan gagasan-gagasan besar Gus Dur menjadi kerja-kerja transformatif di masyarakat. Ini berarti PMII harus hadir dalam pembangunan ekonomi lokal, penguatan koperasi, pemberdayaan desa, dan pengembangan teknologi.
Gus Dur juga mengingatkan bahwa selama ini kekuatan NU tercecer dan tidak terorganisasi secara efektif, meskipun masih berurat akar di pesantren dan masjid. PMII bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan kekuatan tersebut dengan program-program pembangunan yang nyata. Hal ini memerlukan kader-kader yang memiliki kapasitas manajerial dan kemampuan jaringan yang luas.
Lebih dari sekadar nostalgia, pesan Gus Dur merupakan peta jalan (roadmap) pergerakan yang masih relevan hingga kini. Jika transformasi sosial ekonomi ini berhasil, NU dan PMII akan menjadi kekuatan utama dalam mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil di Indonesia. Ini adalah panggilan sejarah yang tak bisa diabaikan oleh generasi muda PMII.
Apakah pesan Gus Dur telah terlaksana? Pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur. Banyak inisiatif yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak pula yang tertinggal sebagai wacana. Sebagian kader PMII mungkin sudah masuk dalam arena pemberdayaan, tetapi secara kelembagaan, PMII masih perlu menguatkan posisi strategisnya dalam pembangunan sosial ekonomi umat.
Tantangan zaman semakin kompleks. Ketika dunia bergerak cepat dalam digitalisasi dan globalisasi, PMII tidak boleh ketinggalan. Pesan Gus Dur tentang pentingnya belajar komputer dan teknologi adalah isyarat jauh ke depan. Ia ingin agar PMII siap menyongsong era baru dengan kesiapan intelektual dan keterampilan praktis.
Transformasi keempat yang disebut Gus Dur, yakni transformasi IPTEK, masih menjadi tantangan besar bagi NU dan PMII. Dunia pendidikan, riset, dan inovasi harus mulai menjadi wilayah garapan kader. Jika tidak, PMII hanya akan menjadi penonton dalam arus perubahan zaman, kehilangan peran dan relevansi sosialnya.
Pesan Gus Dur tentang pentingnya keterikatan kultural dan keislaman menunjukkan bahwa NU dan PMII bukanlah entitas politik belaka. Mereka adalah gerakan nilai, budaya, dan spiritualitas yang harus memperkuat kehidupan masyarakat dari akar rumput. Ini adalah kekuatan sejati yang tak bisa digantikan oleh kekuasaan politik sesaat.
PMII seharusnya membaca ulang pesan-pesan ini, bukan hanya sebagai dokumen sejarah, tetapi sebagai pedoman perjuangan. Di tengah krisis sosial dan ekonomi yang makin terasa, kader-kader PMII harus tampil sebagai pelopor transformasi di berbagai lini kehidupan masyarakat.
Agar pesan Gus Dur tidak berhenti pada tataran wacana, PMII harus membuat langkah-langkah strategis dan konkret. Misalnya dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi mikro, pelatihan teknologi, penguatan literasi digital, dan sinergi dengan pesantren dalam pengembangan ekonomi berbasis komunitas.
Sudah saatnya PMII bergerak dari kampus ke desa, dari seminar ke lapangan, dari teori ke praktik. Inilah makna mendalam dari pesan Gus Dur: bahwa kader PMII adalah pelopor perubahan, bukan pengikut arus. Mereka harus menjadi problem solver, bukan problem maker.
Jika PMII mampu memaknai dan melaksanakan pesan Gus Dur secara utuh, maka mereka tidak hanya menjaga warisan NU, tetapi juga menjadikannya kekuatan nyata yang membangun Indonesia dari bawah. Transformasi sosial ekonomi bukanlah proyek jangka pendek, melainkan perjuangan panjang yang memerlukan dedikasi, keikhlasan, dan keberanian.
Akhirnya, pertanyaan “apakah pesan Gus Dur hanya menjadi wacana?” adalah tantangan bagi setiap kader PMII hari ini. Jawabannya tergantung pada kemauan untuk bergerak, berinovasi, dan mengabdi. Sebab, seperti yang sering diucapkan Gus Dur, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Maka, memaknai pesan Gus Dur berarti menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kerja-kerja transformasi yang berkelanjutan.
Wallahu A'lam Bissawab.