- 06 Desember 2025
NAHDLIYIN.COM, Bekasi – Pengasuh Pesantren Mahasina Darul Qur’an Wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, menegaskan pentingnya penerapan pesantren ramah anak sebagai bagian dari komitmen lembaga pendidikan Islam dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan berkeadilan bagi seluruh santri.
Menurutnya, konsep pesantren ramah anak harus tumbuh dari visi, misi, dan nilai-nilai dasar pesantren itu sendiri. Di Pesantren Mahasina, visi “berkualitas untuk semua” menjadi pedoman utama dalam mengelola pendidikan inklusif yang bisa diakses semua kalangan, termasuk anak-anak dari keluarga tidak mampu.
“Pendidikan yang berkualitas harus bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Prinsip ini kami turunkan dalam tata kelola pesantren dan pengembangan sumber daya manusianya,” ujar Nyai Badriyah di Pesantren Mahasina Darul Qur’an Wal Hadits, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (29/10/2025).
Ia menjelaskan, pesantren sejatinya merupakan lembaga pengasuhan alternatif plus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah kedua bagi para santri. Karena itu, perlindungan anak harus mencakup seluruh aspek tumbuh kembang: intelektual, sosial, emosional, dan spiritual.
“Santri harus terlindungi dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Kami menerapkan tata kelola yang berpihak pada anak, sumber daya manusia yang terlatih, serta mekanisme pencegahan dan penanganan melalui SOP yang jelas,” tegas A’wan PBNU tersebut.
Di Pesantren Mahasina, sistem perlindungan ini dijalankan secara terstruktur melalui Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Kekerasan di Pesantren, yang terdiri dari pengasuh, pendamping, dan guru. Melalui sistem komunikasi terpadu, termasuk grup WhatsApp per kelas yang melibatkan wali santri, perkembangan anak dipantau setiap hari.
“Dengan cara ini, kami bisa mengetahui kondisi santri secara day to day siapa yang sakit, siapa yang bermasalah, dan bagaimana solusinya. Wali santri juga kami libatkan agar bersama-sama membentuk karakter anak yang santun, baik di pesantren maupun di rumah,” jelasnya.
Selain sistem pengawasan dan pelaporan, Nyai Badriyah juga menanamkan nilai keberanian pada santri untuk berbicara dan melapor jika mengalami atau menyaksikan kekerasan.
“Kami selalu tekankan kepada anak-anak: jangan takut melapor. Jika melihat atau mendengar ada kekerasan, segera cegah dan tolong korban,” pesannya.
Saat ini, Pesantren Mahasina menaungi sekitar 1.000 santri putra dan putri tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Setiap pergantian semester, seluruh santri dikumpulkan di aula untuk memperkuat kembali komitmen terhadap nilai-nilai pesantren ramah anak.
“Ramah anak berarti sarana dan prasarana yang aman, lingkungan yang nyaman, serta penghormatan terhadap hak-hak dasar anak agar mereka bisa belajar, beribadah, dan beristirahat dengan tenang,” tutur Nyai Badriyah.
Ia berharap penerapan sistem serupa dapat menginspirasi pesantren lain di seluruh Indonesia. Menurutnya, jika semua pesantren berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan dan perlindungan anak, maka dunia pesantren akan semakin dipercaya dan menjadi rujukan pendidikan berkeadilan.
“Semoga yang kami terapkan di Mahasina bisa menjadi contoh bagi pesantren lain untuk mewujudkan lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung tumbuh kembang santri secara optimal,” pungkasnya.