- 04 Desember 2024
SALAH satu cara penyebaran dan pengajaran agama Islam di Indonesia dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dikenal dengan sebutan pesantren. Perannya sangat besar dalam masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara.
Namun, meski perannya begitu besar, hingga saat ini masih belum jelas sejak kapan pesantren mulai ada di Indonesia. Beberapa sumber menyebutkan hal berbeda mengenai kapan tepatnya pesantren mulai ada di Indonesia.
Dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, pesantren disinyalir merupakan hasil Islamisasi sistem pendidikan lokal yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara. Kala itu, lembaga pendidikan lokal berupa padepokan dan dukuh banyak didirikan untuk mendidik para cantrik.
Melalui proses dakwah yang dipelopori oleh Wali Songo, padepokan-padepokan tersebut di akulturasi dengan nilai-nilai Islam. Materi yang diajarkan pun diganti menjadi ilmu-ilmu yang bernapaskan Islam. Seiring dengan semakin meluasnya ajaran Islam di Nusantara, padepokan-padepokan tadi berganti nama menjadi pesantren.
Asal-Usul Istilah ‘Pesantren’
Kata pesantren mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid-murid yang belajar di pesantren. Bila dibedah lebih jauh, ‘pesantren’ berasal dari kata santri. Oleh karena itu, untuk memahaminya kita harus membedah asal-usul dan makna santri itu sendiri.
Berkaitan dengan kata ‘santri’, ada beberapa sumber yang menyebutkan pemaknaan berbeda. Kata Agus Sunyoto, kata ‘santri’ adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra).
Sedangkan sumber lainnya mengatakan, bahwa itu berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti, orang yang mengikuti gurunya kemanapun ia pergi.
Istilah pesantren pada dasarnya merupakan sebuah tempat pendidikan Islam tradisional yang di dalamnya juga terdapat asrama bagi para siswa atau muridnya. Dengan kata lain, para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu agama di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai.
Lahir dari Tempat Kiai Menetap
Biasanya berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai atau ulama agama Islam yang menetap di suatu tempat. Kemudian, datanglah para santri yang hendak belajar berbagai ilmu agama kepadanya.
Tidak jarang santri yang ingin belajar berasal dari daerah yang jauh. Untuk itu, dibangun pula tempat bermukim para santri di sekitar kediaman kiai tadi. Semakin banyak santri yang ingin menuntut ilmu, akan semakin banyak pula pondok yang dibangun.
Di masa lalu, biaya kehidupan dan pendidikan di pesantren disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Cara tersebut dimaksudkan agar kehidupan di pesantren tidak terpengaruh dengan gejolak yang ada di luar.
Cikal bakal lahirnya pondok pesantren diduga ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel, mendirikan sebuah padepokan di Ampel, Surabaya, jawa Timur. Meski pada waktu itu belum disebut dengan pesantren, tapi bisa dikatakan apa yang dilakukan Sunan Ampel menjadi peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di indonesia.
Ia menjadikan padepokannya sebagai pusat pendidikan Islam di Jawa. Dari sana, para santri yang berasal dari berbagai daerah, baik dari dalam maupun luar Pulau Jawa, datang untuk menuntut ilmu agama. “Bahkan, tidak hanya dari pulau Jawa, ada juga santri yang berasal dari Gowa dan Tallo, Sulawesi,” tulis Herman.
Santri-santri yang telah belajar dan cukup ilmu di padepokan Sunan Ampel. Kemudian satu per satu pulang ke daerahnya masing-masing dan mengamalkan ilmunya di sana. Maka murid-murid Sunan Ampel tersebut, mendirikan padepokan seperti apa yang telah mereka dapatkan di Padepokan Ampel. Ulama-ulama besar banyak yang lahir dari padepokan-padepokan tersebut.
Sistem pendidikan ala pesantren yang menjadikan kiai sebagai pusat segala perkara sempat meredup, kala perusahaan dagang Belanda (VOC) datang menjajah. Masyarakat Islam yang taat seakan diasingkan. Para ulama yang diikuti masyarakat dijauhkan pusat pemerintahan karena dianggap membawa potensi terjadinya kerusuhan.
Karena itu, pesantren sebagai pusat pendidikan Islam akhirnya cenderung menyingkir dari pusat-pusat pemerintahan. Kiai dan masyarakat berusaha membangun sendiri pusat-pusat pendidikan Islam di pedalaman dengan memanfaatkan apa yang mereka punya.
Di bawah kepemimpinan kiai, masyarakat mewakafkan tanah, harta benda lainnya, hingga tenaga untuk membangun sebuah pesantren. Intinya masyarakat berkontribusi dengan memberi apapun sesuai kemammpuan mereka. Kabarnya, hal semacam ini masih sering terjadi di pesantren-pesantren sampai saat ini.
Hingga pada awal abad 19, Kiai Hasan Besari mengambil peran besar, ia mendirikan sebuah pesantren di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. “Pesantren Tegalsari didirikan oleh Sultan Paku Buwono II tahun 1742 sebagai ucapan terima kasih kepada Kiai Hasan besari,” dikutip dari Kumparan.com. Pesantren ini banyak menempa tokoh-tokoh besar seperti pujangga Ronggowarsito.
Kemudian pada akhir abad itu, muncul ulama besar lain yang memerankan posisi serupa, yaitu Kiai Kholil dari Bangkalan, Madura. Sosok ini mendorong lahirnya ulama besar lain yang juga mendirikan pondok pesantren, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebu Ireng di Jombang, kemudian membentuk Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Di sisi lain, rekan seperguruan Kiai Hasyim di Mekkah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mendirikan pusat pendidikan Islam yang lebih modern, dengan kurikulum yang sedikit berbeda.
Kini, seiring perkembangan zaman, pesantren-pesantren sudah semakin moden, baik dari kurikulum maupun fisk bangunannya. Meski begitu, kesederhanaan dan keikhlasan yang digambarkan oleh kehidupan kiai dan para santrinya. Masih menjadi nilai utama yang patut diteladani dari ajaran kehidupan di pesantren.
Sumber: Atlas Wali Songo (Agus Sunyoto) | Jurnal Al-Ta’dib Sejarah Pesantren di Indonesia (Herman DM) | Kumparan.com | Republika.co.id