Sabtu, 12 Juli 2025 05:20 WIB

Bagaimana Islam Melihat Tokoh Seorang Istri


  • Selasa, 17 Juni 2025 13:38 WIB

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta’in Syafi’i

NAHDLIYIN.COM, Jakartat – Islam memandang seorang istri bukan sekadar pasangan hidup, tapi sebagai bagian penting dari sistem peradaban. Dalam khutbah Jumatnya, Dr. KH. Musta’in Syafi’i menekankan bahwa Islam memuliakan perempuan, khususnya peran istri dalam menciptakan keluarga yang baik, harmonis, dan diridhai Allah.

Bagi orang beriman, menjadi pribadi yang baik saja tidak cukup. Ada kewajiban lebih jauh: menciptakan keluarga dan keturunan yang baik. Dalam sejarah para nabi, Nabi Ibrahim AS adalah contoh utama. Beliaulah rasul yang paling banyak mendoakan kebaikan untuk keluarga dan anak cucunya. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri mengakui bahwa derajat mulianya sebagai penutup para nabi merupakan bagian dari doa para leluhurnya, khususnya Nabi Ibrahim.

Karena itu, anak cucu yang mencapai keberhasilan, baik secara intelektual, spiritual, maupun sosial, tidak pantas menyombongkan dirinya seolah itu hasil usaha sendiri. Dalam pandangan Islam, semua keberhasilan adalah buah dari doa orang tua dan para leluhur yang salih. Maka, dalam Al-Qur’an, banyak sekali disebut dzurriyah (keturunan) dari nenek moyang yang baik.

Istri Salihah dan Tantangan Kepemimpinan Suami

KH. Musta’in juga mengangkat fenomena rumah tangga yang dihuni oleh istri yang salihah. Istri yang taat beribadah tanpa perlu disuruh, berbakti dengan sendirinya, dan mampu menjadi sumber ketenangan. Namun, ketika istri sudah sedemikian sempurna, sang suami bisa jadi kehilangan peran aktif sebagai pembimbing. Bahkan, tidak jarang justru sang istri yang membangunkan suaminya untuk tahajud.

Dalam kondisi seperti ini, suami bisa saja lebih banyak belajar dari istrinya. Dan itu tidak masalah. Tapi ada sisi kepemimpinan yang kurang diasah karena tidak terlibat langsung dalam proses mendidik. Maka, sekalipun nyaman, kondisi ini tetap menantang dari sisi tanggung jawab kepemimpinan.

Istri yang Tidak Salihah: Ladang Perjuangan Seorang Suami

Sebaliknya, ada laki-laki yang ditakdirkan mendapatkan istri yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kisah ini pernah terjadi pada Nabi Nuh dan Nabi Luth. Istri-istri mereka bukan hanya tidak mendukung, tapi aktif menentang dakwah suaminya. Bahkan anak Nabi Nuh ikut melawan. Namun, ini semua menunjukkan satu pelajaran penting: hidayah adalah hak prerogatif Allah.

Meski gagal membimbing keluarga ke jalan yang lurus, para nabi ini tetap dipuji oleh Allah karena usaha dan ketulusan mereka. Mereka telah menunaikan tanggung jawab dengan maksimal.

Di sisi lain, Allah mengangkat derajat seorang istri luar biasa: Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun. Meski hidup bersama manusia paling dzalim, Asiyah tetap memegang teguh keimanannya. Ia tidak menuntut cerai, tidak membangkang secara kasar, tapi tetap bersikap baik dan menjaga kehormatan dirinya.

Keimanan dan kesabarannya diabadikan dalam Al-Qur’an dengan doanya:
“Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di surga.”
(At-Tahrim: 11)

KH. Musta’in juga mengajak jamaah merenung tentang wafatnya Rasulullah SAW. Mengapa beliau tidak wafat di Masjidil Haram, atau di medan perang, atau di dalam masjid Nabawi? Tapi justru beliau wafat di rumah istrinya, dalam pelukan Sayyidah Aisyah.

Ini bukan kebetulan. Ada pesan penting: bahwa syariat Islam tidak boleh mengabaikan kemaslahatan keluarga. Andaikan Rasulullah wafat di medan perang, umat bisa salah memahami bahwa jihad adalah segala-galanya. Atau jika wafat di masjid, bisa disalahartikan bahwa ibadah harus terus di masjid. Padahal, keluarga adalah ladang amal utama yang tak kalah mulia.

Kesaksian Seorang Istri: Rahasia Amal yang Tak Terlihat

Di akhir khutbah, KH. Musta’in menutup dengan kisah menggugah. Seorang lelaki dikenal masyarakat sebagai tukang maksiat: nongkrong di tempat judi, khamer, dan zina. Tapi ketika ia wafat, tidak ada yang mau merawat jenazahnya, hingga datang seorang wali Allah.

Setelah merawat jenazahnya, wali ini mendengar kesaksian dari istri almarhum:
“Benar, suami saya setiap malam ke tempat maksiat. Tapi ia hanya duduk, tidak ikut. Ia hanya berdoa dalam hati: Ya Allah, berilah mereka hidayah…”
Tak hanya itu, di rumah, ia juga merawat dua anak yatim dengan penuh cinta.

Kisah ini menunjukkan bahwa penilaian manusia sering keliru. Tapi Allah tidak pernah salah menilai. Kebaikan sekecil apa pun, apalagi yang disaksikan oleh seorang istri, akan menjadi bukti di hadapan Allah.

Islam memandang istri bukan sekadar pelengkap, tapi sebagai pilar keluarga, penjaga akhlak, dan bahkan saksi kebaikan yang tak terlihat. Dalam keluarga yang harmonis, tugas suami bukan hanya mencari nafkah, tapi juga menjadi pendidik dan pelindung. Dan istri, bukan hanya pelaksana peran domestik, tapi mitra sejati dalam meraih ridha Ilahi.

Semoga kita semua mampu meneladani peran-peran agung dalam rumah tangga sebagaimana dicontohkan para nabi, istri-istri salihah, dan keluarga yang diridhai Allah.

Disampaikan pada Khutbah Jum'at, 2 Mei 2025, Masjid Pondok Putra Pesantren Tebuireng, Jombang. Tayang di Youtube: Tebuireng Official



ARTIKEL TERKAIT