Kamis, 16 Mei 2024 23:32 WIB

Fiqih Politik Walisongo; Menata Demak Menata Nusantara


  • Sabtu, 09 September 2023 14:34 WIB

Oleh:  Aguk Irawan MN, Budayawan dan Sejarahwan Nahdliyin.

NAHDLIYIN.COM - Intelektual Mesir, Ali Al-Risuni, dalam karyanya Fiqhu Al-Da’wah, berpendapat, bahwa peradaban islam adalah prodak dari politik (fiqhu Siyasah) dan itulah yang terjadi ketika Islam menyumbangkan peradaban yang gemilang zaman golden age, era daulah Abbasiyah di Baghdad sekitar abad 8-9 M,  begitu halnya era peradaban Islam di Spanyol, Turkey-Usmani, termasuk peradaban Islam di Asia Tenggara (Nusantara). Dua tanda yang mencolok dari suatu peradaban tentu saja ilmu pengetahuan (intelektual) dan kemakmuran bangsanya. Logika yang dibangun Al-Risuni sederhana, bahwa semua cita-cita terbaik negara akan terwujud, jika kondisi politiknya stabil, sementara kestabilan politik terletak pada penegakan hukum yang adil. 

Melihat dari teori ini, apa yang telah diupayakan oleh Walisongo ketika Kerajaan Islam Demak Bintoro berdiri (1476) sudah mengarah kepada tanda-tandanya akan lahirnya sebuah peradaban. Sebab, para wali saat itu, melalui Organisasi Bayangkare Islah berhasil menyusun Naskah Hukum sebagai landasan di setiap kebijakan. Salah satunya adalah Naskah Hukum Sêrat Suryangalam. Hingga hari ini kiyta masih bisa membaca dokumen hukum Kerajaan abad 15 ini. Setidaknya, ada tiga manuskrip, yakni Sêrat Suryangalam dengan nomer SMP RP 117 yang berada di koleksi perpustakaan museum Radyapustaka. Lalu, Sêrat Suryangalam dengan nomer KS.238 531 SMP 121/26 yang berada di koleksi perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta Hadiningrat, dan ada juga naskah yang tersimpan di British Library.

Sêrat Suryangalam Kerajaan Demak merupakan jenis naskah hukum yang di dalamnya bercerita tentang undang-undang dengan sangat detail, terkait dengan pasal-pasal pidana dan perdata. Ada juga ketentuan sanksi melukai dan membunuh orang lain, perampokan, dan menghina orang lain di depan umum. Sanksi dalam naskah ini dibedakan sesuai dengan kedudukan dan status pelakunya. Hukuman korupsi paling berat pidanaya, bahkan jika terbukti bersalah, seseorang bisa dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya, selanjutnya dipotong menjadi dua bagian, yaitu terdiri dari kepala, badan dan kaki. Masing-masing dimakamkan secara terpisah. Hal ini menjadi petunjuk dalam mengatur kehidupan masyarakat di zaman pemerintahan kerajaan Demak yang pada saat itu dipimpin oleh Raden Fatah atau Senopati Jimbun bahwa korupsi adalah perbuatan yang sangat tercela, sebab bisa menyengsarakan hidup rakyat.

Selain itu, dalam Sêrat Suryangalam mengatur antara lain tentang aturan pengadilan, tugas, syarat, wewenang, dan larangan bagi seorang hakim. Dibahas juga prosedur pengadilan maupun perlindungan bagi terdakwa. Tidak sembarang orang boleh menjadi saksi, ada syarat yang harus dipenuhi antara lain seperti waria dilarang menjadi saksi, bukan saudara, saksi memiliki keragu-raguan dan syarat lainnya yang itu semua mengarah pada fiqih Siyasah wa Jinayah, madhab Imam Empat Ahlusunnah Wal-Jamaah. Bahkan dalam naskah ini juga disebutkan jika saksi dan pendakwa yang ketauan berdusta juga akan dikenai sanksi. Tidak sampai disitu, pihak yang terkait dengan perkara baik penggugat, tergugat, terdakwa, sampai saksi apabila tidak menghadiri pengadilan dengan alasan yang jelas akan dikenai sanksi berupa denda sebanyak 24000 mata uang saat itu. Perkara yang diajukan diproses apabila sudah memenuhi 30 ketentuan seperti kehadiran saksi yang memenuhi syarat, ada bukti mendukung yang dapat dipertanggung-jawabkan, ada unsur yang merugikan orang lain dengan nilai  tertentu, seperti merusak, mengambil, mencuri barang orang lain, membunuh, melukai orang lain, sengketa jual-beli yang dalam prosesnya memiliki bukti tertulis serta saksi dan lain-lain.

Ketentuan hukum diberi petunjuk dengan detail dalam naskah Sêrat Suryangalam supaya dapat menarik simpati dan empati, sehingga masyarakat bisa mendapatkan keadilan dan taat pada aturan yang ada. Dampak selanjutnya pembangunan dapat diwujudkan, ekonomi dapat ditumbuhkan, dan generasi yang lebih baik dapat dilahirkan. Konsep-konsep keadilan yang dirintis ini sesuai dengan pandangan Imam Al-Mawardi, dalam karya magnum opusnya Ahkam Sulthana, dan karya Imam Al-Ghayali dalam karyanya Al-Tibru Al-Masbuk.

Setelah naskah hukum sudah disusun, kemudian Organisasi Bayangkare Islah bentukan Walisongo membuat diktum-diktum terkait dengan mempergiat usaha bidang ekonomi, pendidikan dan pengajaran islam menurut rencana yang teratur. Dalam rencana pekerjaannya antara lain sebagai berikut: Pertama, tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian, tiap-tiap wali (komando daerah) membuka lapangan pekerjaan dengan seluas-luasnya, terutama di atas tanah perdikan Majapahit. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian daerah dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal). Kedua, supaya mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat,  maka didikan dan ajaran Islam harus diberikan dengan melalui jalan kebudayaan dan tradisi yang hidup dalam masyarakat setempat, dengan catatan tidak melanggar ushul (syara). Ketiga, para wali dan badal selain harus pandai dalam ilmu agama, harus pula memelihara budi pekerti diri sendiri dan beraklak mulia, supaya  menjadi suritauladan bagi masyarakat sekelilingnya.

Kempat, Para wali dan badal diupayakan segara mengambil alih pendidikan Kemandalaan dari semua daerah kekuasaan Majapahit dengan cara damai, serta mempertahankan seluruh kearifan di dalamnya, kemudian didirikan pesantren. Kelima, Di Bintoro harus segera didirikan sebuah Masjid Agung untuk menjadi sumber ilmu dan pusat kegiatan usaha pendidikan dan pengajaran Islam. Sebelum selesai dibangun Masjid Agung itu, maka menggunakan sebuah masjid sementara (semi permanen), dinamai Masjid Sekayu (Masjid Agung pertama di Jawa-Madura, berdiri tahun 1477). (Mahmud Yunus; 217-220)

Setelah berdiri kerajaan Islam pertama di Demak dengan rajanya Raden Fattah (1500) maka, pendidikan dan pengajaran Islam yang berbasis di kampung-kampung dengan mendirikan pesantren bertambah maju dengan amat pesatnya, apalagi penguatan nilai –nilai islam masih menggunakan kearifan lokal, yang berbasis dari agama Hindu-Budha, maka lambat laut pengaruh agama Hindu-Budha berangsur surut. Lebih dari itu, di tempat-tempat sentral dalam suatu daerah didirikan Masjid dibawa pimpinan seorang badal (kiai) untuk menjadi sumber ilmu dan pusat pendidikan dan pengajaran Islam.

Wali di suatu daerah diberi gelar kehormatan Sunan oleh pihak keraton (kerajaan), ditambah dengan nama daerahnya, sedangkan Badal gelaran resminya: Kiai Ageng. Misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Sunan Giri, Kiai Ageng Tarub, Kiai Ageng Selo dan lain sebagainya. Untuk menyempurnakan rencana Bayangkare Islah, maka oleh Dewan Wali Songo dari kerajaan Demak diambil putusan, supaya cabang kebudayaan nasional, yakni filsafat hidup, kesenian, kesusilaan, adat-istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya sedapat mungkin diisi dengan nilai-nilai pendidikan dan pengajaran Islam. Langkah pertama dengan cara menyadur naskah-naskah warisan nenek moyang yang beragama Hindu-Budha, kemudian merawat tradisi-tradisi yang sudah menjadi bagian penting masyarakat. Dengan demikian agama Islam menjadi mudah diterima rakyat dan menjadi darah daging dalam tubuh masyarakat.

Pelaksanaan putusan tersebut itu yang utama ditugaskan kepada Raden Syahid yang kemudian bergelar Sunan Kalijaga, dan Raden Paku yang bergelar Sunan Giri. Beberapa naskah kemudian yang dihasilkan oleh mereka adalah berupa kitab suluk, syairan, kidung, primbon dan hikayat; seperti Suluk Sunan Kalijaga, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Giri, Wasita Jati Sunan Geseng, semua itu berisikan diktat mistik tasawuf-Islam yang ditulis dengan tangan. Sementara para wali yang lain mengajarkan Usul 6 Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Samarkandi. Isinya adalah ilmu agama Islam yang permulaan, seperti rukun iman dan rukun islam, serta pokok-pokok fiqih. Kitab yang lain ialah Tafsir Jalalain, karangan Syekh Jalaludin al-Mahalli dan Jalaludin As-Suyuthi.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui campur tangan keraton, kebudayaan lama (Hindu-Budha) membaur dengan unsur-unsur Islam yang khas Nusantara dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang unik. Sekalipun Majapahit sebagai kerajaan Hindu telah runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang, khususnya di bidang bahasa/sastra dan etika, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Sejalan lurus dengan tegaknya keadilan dan ilmu pengetahuan, kondosi ekonomi masyarakatnya pun meningkat, sebagaimana diilustrasikan oleh Babad Cirebon: “Berkahe Sang Wali, seger maning manah iki, klawan tur kang kirang banyu, wareg serwa pinangan; Berkahnya kedatangan Wali, semuanya hidup kembali, air melimpah yang dulunya kering, ang ditanam tumbuh dengan baik, semua orang makan dengan lahap dan kenyang.” (Br 75/PNRI/Pupuh I). Wallahu’alam Bishawab.



ARTIKEL TERKAIT