- 06 Desember 2025
NAHDLIYIN.COM, Jakarta – Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyuarakan kritik tajam terhadap rencana pemerintah yang akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Dengan nada tegas dan jujur khas pesantren, Gus Mus menyatakan penolakannya.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus di kediamannya, Leteh, Rembang, sebagaimana dilansir NU Online, Rabu (5/11/2025).
Gus Mus menuturkan bahwa selama masa kekuasaan Orde Baru, banyak ulama, kiai, dan warga Nahdlatul Ulama (NU) diperlakukan tidak adil.
“Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU dilarang dipasang, bahkan yang berani memasang diruntuhkan oleh pejabat daerah. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ungkapnya.
Ia juga mengenang Kiai Sahal Mahfudh yang didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah untuk diminta menjadi penasihat.
“Kiai Sahal menolak. Saya menyaksikan sendiri,” tegas Gus Mus, mengingatkan publik pada luka sejarah yang belum sembuh.
Lebih jauh, Gus Mus menyindir sikap sebagian pihak yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan, termasuk dari kalangan NU sendiri.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan, berarti tidak ngerti sejarah,” ujarnya tajam.
Menurutnya, banyak kiai dan pejuang bangsa yang jauh lebih layak mendapat gelar pahlawan, namun keluarganya memilih tidak mengajukan demi menjaga keikhlasan amal perjuangan mereka.
“Biar amal kebaikannya tidak berkurang di mata Allah. Mereka takut riya’,” tutur Rais Aam PBNU 2014–2015 itu.
Luka Sejarah yang Masih Membekas
Pernyataan Gus Mus tak berdiri di ruang kosong. Sejarah mencatat bayang kelam Orde Baru terhadap umat dan kiai-kiai pesantren. Dalam Pemilu 1971, tragedi Losarang, Indramayu menjadi bukti kekerasan terhadap warga NU: rumah-rumah dibakar, masjid dihancurkan, warga diintimidasi. Harian Sinar Harapan kala itu mencatat langsung kesaksian Panda Nababan, KH Yusuf Hasyim, dan Zamroni yang datang ke lokasi.
Kekerasan serupa berulang. Tahun 1977, Kiai Hasan Basri di Brebes ditemukan tewas mengenaskan. Pemerintah menyebut ia bunuh diri, namun laporan Harian Pelita membantah keras versi itu.
“Kiai dipukul hingga mati, bukan menjatuhkan diri ke sumur,” demikian isi laporan tersebut, ironisnya, di halaman yang sama terpampang foto Soeharto sedang tersenyum menerima Dubes Brasil.
Belum lagi tragedi Asembagus, Situbondo (1977) yang membakar 140 rumah warga NU, serta intervensi Orde Baru terhadap Muktamar NU di Cipasung (1994) untuk menjegal Gus Dur. Bahkan, pada 1996, Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie secara langsung meminta Gus Dur mundur dari kursi Ketua Umum PBNU sebuah tekanan politik yang terang-terangan.
Kritik Tajam, Suara Nurani
Pernyataan Gus Mus bukan sekadar penolakan, melainkan peringatan sejarah. Sebuah suara nurani agar bangsa ini tidak salah menempatkan jasa dan luka.
Baginya, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap para kiai dan santri yang dizalimi.
“Mengangkat pelaku penindasan menjadi pahlawan, sama saja menaburkan garam di atas luka sejarah umat,” demikian makna yang tersirat dari sikap Gus Mus.
Di tengah arus politik yang kerap mengaburkan batas antara jasa dan dosa, suara jernih seorang kiai sepuh seperti Gus Mus menjadi pengingat moral bagi bangsa: bahwa kehormatan sejarah tak bisa ditulis ulang dengan tinta kekuasaan.