- 06 Desember 2025
NAHDLIYIN.COM, Jakarta – Gelombang penolakan terhadap wacana pengangkatan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menguat dari kalangan intelektual dan tokoh Nahdlatul Ulama. Dalam Diskusi Publik IslamiTalk yang diselenggarakan oleh Islami.co di Outlier Café, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (7/11/2025), sejumlah tokoh lintas generasi menegaskan bahwa Soeharto tidak layak mendapat gelar kepahlawanan karena meninggalkan jejak kelam bagi NU dan rakyat Indonesia.
Acara yang dihadiri oleh Ketua PBNU Savic Ali, Sejarawan dan Anggota DPR Bonnie Triyana, Budayawan Hairus Salim, serta Aktivis Gen Z NU Lily Faidatin, menghasilkan penolakan tegas terhadap wacana tersebut. Mereka menilai, warisan kekerasan politik, pelanggaran HAM, dan represi sistematis pada masa Orde Baru tidak bisa dihapus hanya dengan narasi jasa.
“Orde Baru mengebiri NU di segala level; politik, pendidikan, hingga pesantren. Mekanisme tripartit Soeharto ABRI, birokrasi, dan Golkar membuat NU kehilangan ruang gerak. Bahkan ketika NU dipaksa melebur ke PPP, arah politiknya tetap harus tunduk kepada Golkar,”ujar Savic Ali, Ketua PBNU.
Savic juga menyinggung perjuangan para kiai NU di masa Orde Baru yang terus dibungkam, namun tetap bertahan menjaga marwah Islam dan kebangsaan.
“KH Idham Chalid pernah berkata, ‘Kita disuruh tanding tinju, tapi kedua tangan diikat.’ Namun suara NU tetap bertahan 18 persen. Itu bukti bahwa NU mampu bertinju dengan tangan terikat berjuang dengan martabat,” tambahnya.
Nada senada diungkapkan Sejarawan Bonnie Triyana yang menilai upaya mempahlawankan Soeharto merupakan bentuk pemutarbalikan sejarah.
“Kekuasaan Soeharto lahir dari krisis politik dan dijaga dengan kekerasan. Ia membangun legitimasi dengan mengendalikan narasi sejarah. Pembantaian dan penangkapan massal pengikut PKI hingga 1969 adalah bagian kelam yang tidak bisa dihapus dengan gelar pahlawan,” ujar Bonnie.
Budayawan NU Hairus Salim juga menyoroti bagaimana Orde Baru menyingkirkan partai-partai ideologis, termasuk NU yang saat itu memiliki basis massa kuat.
“ABRI dipakai untuk memaksa rakyat memilih Soeharto. NU tak pernah diberi ruang memimpin PPP tanpa restu kekuasaan. Pemilu hanyalah formalitas, ideologi dilumpuhkan, dan demokrasi dikendalikan,” tegas Hairus.
Sementara itu, Lily Faidatin, aktivis muda NU generasi Z, membawa suara emosional generasi yang mewarisi trauma politik Orde Baru.
“Saya menolak dengan tegas Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Beliau mungkin pernah berjasa, tapi dosanya jauh lebih besar. Ayah saya sendiri menjadi korban penangkapan karena mengkritik Soeharto. Itu luka yang belum sembuh,” tutur Lily.
Diskusi publik tersebut kemudian ditutup dengan satu kesimpulan kuat: Bahwa kepahlawanan bukan hanya soal jasa, tetapi tentang integritas moral dan kemanusiaan. Dan bagi para peserta IslamiTalk malam itu, Soeharto tidak memenuhi keduanya.