Minggu, 07 Desember 2025 18:09 WIB

Teologi Wasathiyah: Jalan Tengah dalam Keberagamaan Islam


  • Kamis, 10 Juli 2025 13:00 WIB

Oleh: Zaenuddin EndyKoordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan

NAHDLIYIN.COM – Di tengah eskalasi ekstremisme dan konservatisme berlebih yang membelah ruang sosial dan keagamaan, gagasan tentang wasathiyah Islam kembali menemukan relevansinya. Teologi wasathiyah, atau teologi jalan tengah, adalah pendekatan teologis yang menekankan keseimbangan, keadilan, dan moderasi dalam beragama. Konsep ini bukanlah inovasi baru, melainkan refleksi mendalam dari ajaran Islam yang autentik sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan teladan Nabi Muhammad SAW.

Istilah wasathiyah berasal dari kata Arab wasath, yang berarti “tengah”, “moderat”, atau “adil”. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 143, Allah berfirman: "Wa kadzālika jaʿalnākum ummatan wasaṭan..." (“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan...”). Ayat ini menjadi landasan normatif dari konsep wasathiyah sebagai karakteristik utama umat Islam. Dalam konteks teologi, ini berarti menghindari dua kutub ekstrem: tafrith (mengabaikan ajaran) dan ifrath (berlebihan dalam praktik keagamaan).

Teologi wasathiyah tidak hanya menolak kekerasan atas nama agama, tetapi juga menentang pemaksaan paham keagamaan tunggal yang mengingkari realitas keberagaman umat. Ia berpijak pada prinsip al-tawāzun (keseimbangan), al-taʿādul (keadilan), dan al-tasāmuḥ (toleransi). Tiga prinsip ini kemudian menjadi fondasi etis dan epistemologis dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara kontekstual dan inklusif.

Secara historis, tradisi Islam telah mengenal berbagai corak pemikiran yang menunjukkan karakter wasathiyah. Para ulama seperti Al-Ghazali, Al-Shatibi, dan Ibnu ‘Ashur mengembangkan pendekatan maqāṣid al-sharīʿah (tujuan-tujuan hukum Islam) yang sangat mempertimbangkan maslahat manusia. Sementara di dunia kontemporer, pemikiran Yusuf al-Qaradawi tentang fiqh al-wasathiyah menjadi salah satu referensi penting dalam merumuskan paradigma Islam moderat yang relevan dengan tantangan zaman.

Di Indonesia, gagasan teologi wasathiyah mendapatkan ruang subur melalui ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU, misalnya, menegaskan prinsip tawassuth, tasamuh, dan tawazun dalam praksis keislamannya. NU tidak hanya menjadi pelopor dalam pengarusutamaan Islam moderat, tetapi juga menjadi penjaga harmoni sosial di tengah masyarakat majemuk. Dalam konteks inilah, wasathiyah menjadi bukan sekadar pilihan teologis, tetapi juga strategi kebudayaan dan politik peradaban.

Namun, tantangan terhadap teologi wasathiyah tidak ringan. Radikalisme digital, narasi biner antara kafir-mukmin, serta penggunaan agama untuk kepentingan politik identitas kerap menggerus semangat moderasi. Di sinilah pentingnya revitalisasi teologi wasathiyah, tidak hanya dalam wacana keilmuan, tetapi juga dalam kebijakan pendidikan, dakwah, dan kehidupan berbangsa.

Pendidikan Islam perlu menanamkan nilai-nilai wasathiyah sejak dini. Kurikulum keagamaan mesti diarahkan pada pembentukan karakter inklusif, toleran, dan dialogis. Para da’i dan pendidik agama juga harus menjadi garda terdepan dalam mendiseminasikan pesan-pesan Islam yang damai, bukan yang memecah-belah.

Teologi wasathiyah juga harus berbasis realitas dan berorientasi pada kemanusiaan. Ia bukan retorika kosong, tetapi praksis keimanan yang membela yang lemah, menolak kekerasan, dan menegakkan keadilan. Dalam kerangka ini, teologi wasathiyah berkelindan dengan nilai-nilai universal: hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan perdamaian global.

Sebagai jalan tengah, teologi wasathiyah bukan berarti kompromi terhadap kebenaran, melainkan keberanian untuk menyuarakan Islam yang membumi dan membebaskan. Ia menjadi pelita di tengah gelapnya polarisasi, serta jembatan antara teks dan konteks, antara ortodoksi dan modernitas.

Wasathiyah bukan sekadar doktrin, tetapi sikap hidup yang berakar pada spiritualitas, akal sehat, dan tanggung jawab sosial. Ia mengajarkan bahwa menjadi Muslim tidak cukup dengan benar secara fiqh, tetapi juga arif dalam menyikapi perbedaan dan adil dalam memperlakukan sesama.

Di tengah riuhnya klaim kebenaran dan tafsir literal yang membelenggu nalar, teologi wasathiyah hadir sebagai harapan. Ia membuka ruang dialog, membangun jembatan, dan mengajak umat Islam kembali kepada substansi agama: rahmat bagi semesta alam.



ARTIKEL TERKAIT