Sabtu, 13 Desember 2025 19:27 WIB

Gus Yahya Dorong Islah Demi Keutuhan Jamiyah, Serukan Warga NU Tetap Jaga Persatuan


  • Sabtu, 13 Desember 2025 14:10 WIB

NAHDLIYIN.COM, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan komitmennya untuk menjaga martabat organisasi dan keutuhan Jam’iyah Nahdlatul Ulama di tengah dinamika internal yang berkembang. Sikap tersebut disampaikan melalui Surat Pernyataan Nomor: 4811/PB.23/A.II.07.08/99/12/2025 yang diterbitkan di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).

Pernyataan itu disampaikan menyusul Rapat Pleno PBNU yang diinisiasi Rais Aam pada 9 Desember 2025, yang memutuskan pemberhentian dirinya sebagai Ketua Umum PBNU serta menunjuk KH Zulfa Mustofa sebagai Pejabat Ketua Umum. Menanggapi hal tersebut, Gus Yahya menegaskan bahwa dirinya bersama Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar merupakan pemegang mandat sah hasil Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung pada 2021.

Menurutnya, mandat kepengurusan PBNU berlaku selama lima tahun hingga muktamar berikutnya, sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU. Ia menegaskan bahwa mekanisme pemberhentian pimpinan di tengah masa jabatan hanya dapat dilakukan melalui forum tertinggi, yakni Muktamar Luar Biasa, dan harus didasarkan pada pelanggaran berat yang terbukti secara sah.

“Mekanisme pemberhentian pimpinan tidak bisa dilakukan di luar forum tertinggi organisasi. Keputusan yang diambil tanpa dasar tersebut tidak memiliki legitimasi menurut AD/ART NU,” tegas Gus Yahya.

Ia menilai keputusan yang bersumber dari Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 tidak memiliki landasan hukum organisasi yang sah. Karena itu, seluruh keputusan turunan dari proses tersebut, termasuk penunjukan Pejabat Ketua Umum PBNU, dinyatakan tidak sah. Gus Yahya juga menegaskan bahwa hingga saat ini dirinya masih tercatat sebagai Ketua Umum PBNU yang sah secara hukum, sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Meski demikian, Gus Yahya menegaskan keinginannya untuk mengedepankan jalan islah atau rekonsiliasi demi menjaga keutuhan jam’iyah. Sikap tersebut, menurutnya, sejalan dengan nasihat para sesepuh NU yang disampaikan dalam berbagai pertemuan, termasuk di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, dan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

“Saya membuka diri seluas-luasnya terhadap setiap nasihat, saran, dan gagasan konstruktif demi menemukan solusi terbaik bagi Nahdlatul Ulama,” ujarnya.

Terkait opsi penyelesaian melalui Majelis Tahkim PBNU, Gus Yahya berpandangan mekanisme tersebut berpotensi menghadapi persoalan objektivitas akibat adanya benturan kepentingan. Ia menilai dialog yang tulus, terbuka, dan berlandaskan semangat ukhuwah menjadi jalan paling terhormat dalam menyelesaikan perbedaan.

Dalam kesempatan itu, Gus Yahya juga mengimbau seluruh jajaran pengurus NU di semua tingkatan, mulai dari Pengurus Wilayah hingga Anak Ranting, serta seluruh warga Nahdliyin untuk tetap tenang, menjaga persatuan, dan mempererat silaturahmi. Ia meminta agar untuk sementara waktu seluruh pengurus dan warga NU tidak mengindahkan instruksi yang mengatasnamakan Pejabat Ketua Umum PBNU, guna menghindari kebingungan serta menjaga stabilitas organisasi hingga tercapainya islah.

Selain itu, ia mengimbau Pemerintah Republik Indonesia beserta seluruh pemangku kepentingan agar tidak menindaklanjuti kebijakan yang berasal dari pihak yang tidak memiliki kewenangan sah, karena berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

Gus Yahya menegaskan, di atas segala perbedaan, persatuan dan kemaslahatan jam’iyah harus menjadi orientasi utama seluruh warga Nahdlatul Ulama.
 



ARTIKEL TERKAIT