Selasa, 30 Desember 2025 20:15 WIB

Gus Yahya Sebut Program Makan Bergizi Gratis Strategi Transformasi Bangsa


  • Selasa, 30 Desember 2025 16:56 WIB

NAHDLIYIN.COM, Batang – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar agenda pemenuhan kebutuhan gizi, melainkan strategi besar transformasi bangsa yang menyentuh langsung kualitas sumber daya manusia, ketahanan nasional, hingga pemerataan ekonomi rakyat.

Penegasan itu disampaikan Gus Yahya saat peresmian 69 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Tim Koordinasi dan Akselerasi (TKA) PBNU di Pondok Pesantren Al Hasani Sikebo, Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/12/2025).

“Program ini bukan sekadar soal makan. Ini ikhtiar menjaga ketahanan bangsa dari hulunya, yaitu kesejahteraan rakyat dan kualitas generasi masa depan,” tegas Gus Yahya.

Menurutnya, ketahanan nasional tidak hanya diukur dari kekuatan militer atau persenjataan, melainkan dari kondisi riil rakyat. Ketika kebutuhan dasar, khususnya gizi anak-anak, tidak terpenuhi, bangsa berada dalam posisi rentan menghadapi berbagai ancaman.

“Kalau anak-anak gizinya tidak baik, mereka tidak akan punya daya tahan ketika bangsa ini menghadapi tantangan apa pun,” ujarnya.

Gizi sebagai Fondasi Masa Depan Bangsa

Gus Yahya menilai MBG sebagai investasi jangka panjang negara untuk membangun manusia Indonesia yang sehat, kuat, dan cerdas. Dalam kerangka itulah, pemenuhan gizi ditempatkan sebagai fondasi utama transformasi bangsa.

“Kita sedang berbicara tentang masa depan Indonesia. Arah perjalanan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas manusianya,” kata dia.

Ia menegaskan, keterlibatan NU dalam program MBG merupakan bagian dari tanggung jawab kebangsaan. Dengan basis warga yang besar dan tersebar hingga ke pelosok, NU merasa berkewajiban terlibat aktif dalam kebijakan strategis yang membawa kemaslahatan publik.

“NU tidak menunggu aba-aba. Ketika ada program yang jelas membawa manfaat bagi rakyat, NU bergerak,” tandasnya.

Demokratisasi Ekonomi Rakyat

Selain berdampak pada kualitas SDM, Gus Yahya menyoroti sisi ekonomi MBG. Menurutnya, program ini membuka ruang demokratisasi ekonomi karena melibatkan masyarakat secara langsung dalam rantai produksi dan distribusi pangan.

Ia menekankan pentingnya melibatkan petani, peternak, nelayan, serta pelaku usaha kecil di sekitar pesantren dan sekolah sebagai pemasok bahan pangan, agar perputaran ekonomi tidak terkonsentrasi pada industri besar.

“Ketika kebutuhan pangan dipenuhi dari lingkungan sekitar, ekonomi rakyat bergerak. Inilah demokratisasi ekonomi yang nyata,” jelasnya.

Pandangan tersebut sejalan dengan paparan Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana yang menyebut sebagian besar anggaran MBG dialokasikan untuk pembelian bahan baku pangan dan pembayaran tenaga kerja lokal, sehingga menimbulkan efek ganda bagi perekonomian masyarakat.

Pesantren sebagai Simpul Peradaban

Gus Yahya juga menegaskan posisi strategis pesantren dalam implementasi MBG. Selain sebagai pusat pendidikan, pesantren dinilai mampu menjadi simpul penggerak ekonomi berbasis komunitas.

“Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga pusat peradaban. Ketika pesantren terlibat, manfaat program ini akan jauh lebih luas,” katanya.

Ia berharap MBG terus dikembangkan sebagai agenda nasional yang konsisten, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil. “Ini bukan proyek jangka pendek. Ini kerja peradaban,” tegasnya.

Dampak Nyata bagi Pesantren

Sementara itu, Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abdul Ghaffar Rozin menilai Program Makan Bergizi Gratis membawa perubahan signifikan bagi pesantren, khususnya dalam peningkatan kualitas konsumsi gizi santri.

Ia menyebut Jawa Tengah memiliki potensi besar karena terdapat lebih dari 520 ribu santri di 4.119 pesantren, dengan sebagian pesantren memiliki santri lebih dari 1.500 orang.

“Dengan MBG dan alokasi makan siang Rp10.000, pesantren memiliki ruang besar untuk meningkatkan kualitas konsumsi santri. Anggaran internal pun bisa dialihkan untuk memperbaiki sarapan dan makan malam,” ujarnya.

Menurut Gus Rozin, sebelum MBG, rata-rata anggaran makan santri hanya berkisar Rp3.000–Rp6.000 per sekali makan, yang sulit memenuhi standar gizi layak. Kini, perubahan fisik dan kesehatan santri mulai terlihat, sekaligus menggerakkan ekonomi petani dan peternak lokal.

Meski demikian, ia mengakui masih ada pesantren yang terkendala antrean dan administrasi untuk menjadi mitra MBG. PWNU Jawa Tengah berharap pesantren-pesantren tersebut mendapat prioritas agar manfaat program dapat dirasakan lebih luas.

“Kami berharap mekanisme penyaluran anggaran langsung dari pusat tetap dipertahankan agar pesantren fokus memberi layanan terbaik bagi santri,” pungkasnya.



ARTIKEL TERKAIT