Rabu, 26 November 2025 07:24 WIB

Saatnya NU Berbenah, Menata Struktur dan Menguatkan Kemandirian


  • Selasa, 25 November 2025 13:52 WIB

Oleh: Nadirsyah Hosen

NAHDLIYIN.COM, Jakarta –  Kisruh dan dinamika internal PBNU belakangan ini seperti membuka kembali lembaran lama tentang betapa rentannya jam’iyyah ketika struktur kepemimpinan melebar tanpa kejelasan garis komando. Semua pihak merasa memiliki legitimasi Rais ‘Aam dipilih Muktamar, Ketua Umum juga dipilih Muktamar. Keduanya merasa memegang mandat langsung dari jama’ah, dan di titik inilah roda organisasi mulai tersendat, bahkan berhenti berbulan-bulan.

Dari sini, muncul satu kebutuhan mendesak: menyederhanakan NU.

1. Menata Ulang Struktur Puncak Jam’iyyah

Sudah saatnya NU mempertimbangkan model yang lebih ringkas dan jelas. Pada Muktamar mendatang, posisi yang dipilih langsung oleh Muktamar mungkin cukup Rais ‘Aam saja. Setelah itu, Rais ‘Aam terpilih diberi mandat untuk menunjuk Ketua Umum, bukan melalui kontestasi terbuka.

Model ini menyelesaikan dua persoalan sekaligus: Tidak ada lagi dualisme dua figur yang sama-sama merasa dipilih Muktamar;Konsolidasi Syuriyah dan Tanfidziyah menjadi lebih stabil karena Ketua Umum berangkat dari amanah Rais ‘Aam, bukan menjadi “kutub” tandingan.

NU berdiri di atas hikmah tatanan ulama; bukan pertempuran kuasa yang menggerus marwah jam’iyyah.

2. Kemandirian Ekonomi PBNU

Namun inti persoalan jauh lebih dalam dari sekadar struktur. NU perlu mandiri secara ekonomi. Kemandirian ini dimulai dari titik yang paling awal dan paling simbolis: Muktamar.

Muktamar NU harus kembali sederhana, bersahaja, dan berbasis swadaya. Tidak perlu tiket, tidak perlu sangu, tidak perlu fasilitas mewah apalagi private jet atau charter pesawat oleh pihak ketiga. Semua itu hanya melahirkan ketergantungan, pembelokan loyalitas, dan kooptasi kepentingan yang tidak pernah menguntungkan jama’ah.

Biarlah delegasi PCNU, PCINU, dan PWNU yang hadir datang dengan biaya hasil urunan anggota masing-masing. Muktamar bukan pesta akbar; ini forum musyawarah agama, bukan panggung promosi kandidat atau pertunjukan kemewahan yang bertolak belakang dengan akar tradisi NU.

Muktamar dilaksanakan dengan biaya sendiri, tanpa sumbangan pihak luar. Kita selenggarakan Muktamar sesederhana mungkin.

Jika Muktamar bersih dari ongkos politik, maka kita dapat memilih pemimpin yang memang layak, bukan yang paling banyak menutupi biaya. Kualitas melampaui modal. Integritas lebih tinggi dari lobi.

3. Mengembalikan NU ke Nafas Awal

NU berdiri dari kultur kesederhanaan para kiai kampung: mengajar, membimbing, mengayomi umat dengan apa adanya. Tidak ada glamor. Tidak ada transaksi.

Menyederhanakan NU artinya mengembalikan napas itu:

Struktur yang jelas, Manajemen yang rapi, Ekonomi mandiri, Dan Muktamar yang kembali menjadi ruang suci musyawarah, bukan medan kontestasi pragmatis.

Dengan begitu, jam’iyyah ini bisa pulih dari sakitnya, kembali berjalan, dan memberi arah nyata bagi jama’ah yang selama ini tetap bergerak meski rumah besarnya sedang retak.

NU terlalu besar untuk dibiarkan kacau, dan terlalu mulia untuk dibiarkan diseret oleh kepentingan jangka pendek. Menyederhanakan NU bukan kemunduran: justru itulah satu-satunya jalan untuk melangkah maju.

Tabik,



ARTIKEL TERKAIT