- 08 Desember 2025
NAHDLIYIN.COM, Jakarta – Seruan agar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengembalikan konsesi tambang kepada pemerintah semakin menguat. Setelah berbagai dinamika internal mencuat, kini sejumlah intelektual muda NU tampil bersuara lantang: konsesi tambang harus dikembalikan demi menjaga marwah dan independensi jam’iyah.
Salah satu suara paling tajam datang dari akademisi muda NU, Dr. Muhammad Aras Prabowo. Ia menilai, pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan memiliki risiko besar, baik moral, sosial, maupun tata kelola yang dapat merusak citra dan keutuhan organisasi.
Menurut doktor ilmu akuntansi ini, potensi sumber daya manusia dan sosial NU sudah jauh lebih dari cukup untuk memajukan organisasi tanpa harus masuk ke sektor berisiko tinggi seperti pertambangan.
“NU harus tetap menjadi Guru Bangsa Indonesia. Jika ada kebijakan yang merugikan masyarakat, NU mengingatkan, bukan justru ikut mengelola tambang," ungkapnya.
Aras menegaskan, pilihan yang paling maslahat saat ini adalah mengembalikan izin konsesi tambang ke pemerintah dan mengarahkan energi organisasi kembali ke pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat.
Selain meminta agar izin dikembalikan, Aras mengusulkan agar PBNU menggelar Bahtsul Masail khusus tentang hukum dan tata kelola pertambangan dalam perspektif Aswaja. Hasilnya nanti dapat disusun menjadi policy brief nasional memberi panduan etis bagi negara, tanpa NU harus terjun langsung menjadi pelaku usaha tambang.
Ia juga mengingatkan bencana lingkungan dan kerusakan sosial di berbagai wilayah, terutama Aceh dan Sumatera, sebagai alarm bahwa tata kelola SDA adalah urusan yang sangat sensitif dan rawan mudarat.
Seruan para intelektual muda ini sejalan dengan seruan Ketua Umum PBNU 2010–2021, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA. Dalam silaturahim di Tebuireng, Jombang (6/12/2025), Kiai Said menegaskan bahwa konsesi tambang sebaiknya dikembalikan sebuah pandangan yang ia sebut sebagai hasil evaluasi jernih atas dinamika internal dalam beberapa bulan terakhir.
“Melihat konflik yang semakin melebar dan membawa mudarat lebih besar daripada manfaat, jalan terbaik adalah mengembalikannya kepada pemerintah.”
Kiai Said mengingatkan bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah dengan mandat spiritual-sosial yang besar. Menurutnya, mempertahankan konsesi tambang justru berpotensi menciptakan polarisasi kader, konflik internal, persepsi negatif publik, hingga mengaburkan prioritas besar NU.
“Keberkahan NU itu dari ketulusan, amanah, dan keilmuan bukan dari proyek tambang. NU bisa maju tanpa itu semua, asal tata kelola dan pelayanan ke umat diperkuat.” tegasmua.
Seruan gabungan dari intelektual muda dan kiai sepuh ini menghadirkan peluang penting bagi PBNU untuk mengambil langkah moral strategis: mengembalikan konsesi tambang demi menjaga marwah, keutuhan, dan khittah NU.
Jika langkah ini diambil, NU bisa menjadi preseden nasional bahwa pengelolaan kekayaan alam yang sensitif lebih baik berada di tangan negara atau mekanisme publik—bukan organisasi masyarakat untuk mencegah konflik kepentingan.
Lebih jauh, usulan Bahtsul Masail tambang justru membuka ruang bagi NU untuk memberi kontribusi moral, etis, dan intelektual bagi bangsa tanpa melibatkan risiko bisnis.